gara-gara MBAH MARIDJAN

Ngeyel—nya Mbah Maridjan untuk tidak segera mengungsi, hingga akhirnya wafat dalam erupsi besar pertama gunung Merapi 26 Oktober, memancing berbagai tanggapan publik dan media.

Sebagian menyesali kepergian sang Juru Kunci, yang sesungguhnya masih bisa diselamatkan. Sebagian mengakui keunggulan kekuatan batin anak dari seorang Juru Kunci Merapi juga itu, tidak hanya dalam melakukan ”komunikasi”, tetapi juga menjalin hubungan yang sangat dekat dengan Mbah Merapi.

Di samping beberapa orang yang memandang sinis kedudukan serta peran seorang Mbah Maridjan, umumnya kalangan memiliki kesan yang baik, lembut, dan penuh respek kepada sosok bergelar R Ng Mas Penewu Suraksohargo itu. Almarhum dianggap sebagai orang yang paling kapabel dalam memahami gunung (Merapi, khususnya) bukan hanya sebagai sebuah fenomena alam, melainkan juga fenomena kejiwaan atau kebatinan. Bagi para pendaki gunung, setidaknya di negeri ini, hal terakhir tersebut menjadi bekal yang tak dapat diremehkan untuk menjelajahi atau ”menaklukkan” keganasan dan misteri gunung.

Begitu pun bagi masyarakat umum, khususnya di seputar Merapi, kesederhanaan serta kearifan pikiran dan kehidupan Mbah Maridjan ialah tolok ukur dari cara mereka menghadapi hidup secara harmonis bersama (alam) semesta yang ada di sekitarnya. Ia menjadi contoh kuat untuk praksis dari konsep memayu hayuning buwana. Menjadi medium atau komunikator antara manusia dan gunung, sebagai semesta yang tidak hanya vital dalam hidup keseharian, tetapi juga definitif dalam merangkum kosmologi mereka yang hidup di seputaran radius kulturalnya.

Dalam kosmologi itu, Merapi swarga pangrantunan, yang merupakan ujung atau puncak perjalanan manusia mencapai eksistensi tertinggi, di mana Jagad Ageng (makrokosmos) dan Jagad Alit (mikrokosmos) menyatu dalam diri. Kosmologi itu termanifestasi dalam tata ruang kerajaan (kota) Yogyakarta, yang membujurkan sumbu di garis Parangkusuma (Laut Kidul)-Panggung Krapyak-Keraton-Tugu Pal Putih hingga Merapi, di mana singgasana Sultan pancernya.

Mbah Maridjan hidup penuh dalam kosmologi ini. Gunung (Merapi) baginya adalah makhluk yang hidup, yang dapat bernapas, berpikir, dan berperasaan. Ada roh yang berdiam di baliknya, yang juga membaca (pikiran dan perilaku) manusia di sekitarnya. Dengan alasan itu, sang Juru Kunci beranggapan sebutan-sebutan seperti mbledhos, njeblug, dan wedhus gembel, ”menyakitkan hati” Merapi, dan karena itu, ia pantang menggunakan istilah tersebut.

Simbolisme gunung

Hidup dengan kosmologi semacam ini memiliki makna dan bentuk yang universal di kalangan masyarakat etnis/tradisional seluruh dunia. Gunung adalah tempat dewa/tuhan berdiam, arwah-arwah membangun kerajaannya, atau rumah ke mana roh manusia pergi setelah mati, adalah riwayat yang tersebar sejak dari suku bangsa purba Eropa, Basque, hingga bangsa Kanaan di Timur Dekat, dari Mesir, India, China, hingga Inca dan Indian di Benua Amerika.

Pertautan antara hidup fisik-material manusia dan hidup batin-imaterial gunung tidak lain merupakan upaya purba dan esensial manusia dalam memahami keberadaan kekuatan suprahuman/supranatural, sampai hari ini. Satu upaya yang dalam kehidupan agama pagan melahirkan dewa dan tuhannya sendiri-sendiri, melahirkan agama-agama awal. Gunung jadi simbol utama di berbagai tradisi karena bentuk dan posisinya yang meruncing, tinggi, menyentuh langit: menyentuh wilayah di mana manusia tak mampu meraihnya. Gunung adalah batas tertinggi di mana manusia dapat menyentuh atau memasuki dunia ”lain”, mendapatkan berkah dan kekuatannya.

Tak mengherankan jika agama-agama banyak menggunakan gunung sebagai simbol pencapaian spiritualitas tertinggi, yang dalam makna politis jadi kekuatan, bahkan legitimasi, kekuasaan raja atau para rahibnya. Abstraksi gunung yang berbentuk segitiga tanpa dasar, seperti piramida atau candi, tidak hanya jadi simbol religius, tetapi juga kekuasaan politik. Lebih khusus lagi ”kekuasaan lelaki” ketika ia jadi simbol phallus atau lelaki dalam abstraksi berbentuk dua garis miring bertemu di bagian atas.

Menhir-menhir di Mesir yang diadopsi di Paris, New York, hingga Monas di Jakarta adalah semacam derivasi arsitektural dari budaya macho itu.

Realitas historis yang sangat panjang itu kini jadi semacam fakta sosial dalam diri Mbah Maridjan dan masyarakat yang memiliki realitas sama dengannya. Gara-gara Mbah Maridjan kita pun mafhum hidup seperti itu tak dapat dipahami hanya dengan, katakan, semacam rasionalisme spekulatif yang menyatakan realitas itu sebagai ”transendensi dari keterbatasan manusia”. Faktor rasio mungkin dapat mengartikulasi fenomen-fenomen yang bersifat material, sementara dunia batin dalam realitas kita harus dijelaskan dengan cara lain.

Tantangan besar kita

Prosedur pemahaman yang sama juga perlu dihadapkan pada realitas umum dari masyarakat di negeri ini, termasuk mereka yang berada di kalangan elite ataupun pucuk kekuasaan. Akal dan cara berpikir rasional memang sangat penting, setidaknya berusaha dijadikan standar, dalam kehidupan modern negeri ini, di pelbagai dimensinya. Namun, mesti diakui jujur, perhitungan-perhitungan rasional atau akali itu sebenarnya lebih banyak berperan sebagai kosmetik, bisa pula sebagai artifisialisasi, bahkan topeng yang menutupi realitas praktis dari manusianya, secara individual ataupun komunal.

Tak bisa ditutupi, di setiap lapisan masyarakat kita, di kalangan yang memiliki posisi desisif—secara politis, ekonomis, yuridis, atau religius—praktik hidupnya diisi oleh kegiatan atau ritual-ritual yang sudah menjadi tradisi dari hidup dengan kosmologi di atas. Praktik yang disebut mistis, magis, atau klenik mengisi kehidupan mereka, bahkan hingga cara mereka menghitung hari, membangun rumah, memulai bisnis, mencari istri, hingga mengejar (dan mempertahankan) posisi/jabatan.

Ini tantangan besar kita, untuk setidaknya mencegah—atau memulihkan—terjadinya dualisme kepribadian kita, baik sebagai manusia maupun sebagai bangsa. Jangan sampai rasio hanya jadi tempat berkelit, semacam trik untuk praktik yang menyimpang dari kehidupan batiniah di atas. Caranya, tentu saja, tak hanya sekadar menghujatkan judgement, bahkan dakwaan akan praktik klenik, tetapi memahaminya dengan sebuah perangkat mental tertentu—yang tak melulu rasional—untuk mengetahui kelemahan dan kekuatannya.

Untuk itu, mungkin bisa diawali dengan sikap kita—terutama elite dan penguasa—untuk tak terjebak dan diperalat logika material untuk memahami jiwa atau batin publik di semua segmen kehidupannya, politik, ekonomi, kultural, dan seterusnya. Hanya persoalannya, bagaimana proses itu bisa dimulai apabila elite dan penguasa kita saat ini sudah tidak indah lagi pada satu dimensi penting dalam hidup dan tanggung jawabnya: batin?

Maka bencana pun akan jadi kalender tetap kita selanjutnya. Dalam kultur daratan, gunung memang selalu jadi puncak pencapaian (rohani) kemanusiaan karena di situlah langit tergapai, tempat kekuatan dunia arwah dan Dia yang supranatural berdiam. Ini berlaku dari ujung timur hingga barat dunia, dari Mesir, Semit, India, hingga Jepang dan China. Piramida di Mesir, Mahameru di India, hingga Gunung Kun Lun atau Fujiyama di Jepang mencerminkan itu.[Radhar Panca Dahana * -- KOMPAS, 20 November 2010]

* Radhar Panca Dahana Budayawan