Seorang bocah “bergerilya” ke rumah-rumah tetangganya untuk sekadar menonton televisi. Bagi anak-anak masa sekarang tentu hal itu terlihat ganjil. Karena, saat ini hampir setiap rumah memiliki pesawat televisi. Namun bagi mereka yang melewati masa kanak-kanak pada era 70-an, hal itu tentu sangat lumrah.
Dengan latar belakang cerita yang begitu sederhana dan nyata, ternyata sang Penulis bukan sedang bertutur tentang nostalgia semasa kecil. Namun ia justru tengah menggambarkan “kemegahan” stasiun televisi dan keajaiban-keajaiban di dalamnya pada tempo doeloe. Sehingga, tanpa sadar, sesungguhnya kita tengah digiring untuk memahami sejarah dan potret industri televisi pada masa itu. Atau, ketika TVRI menjadi satu-satunya stasiun televisi di Tanah Air.
Slug satu segmen satu —sang Penulis menggunakan idiom-idiom televisi untuk menggantikan istilah bab dan bagian— seakan menjadi halaman untuk memperkenalkan karakter atau tokoh dalam buku ini layaknya sebuah film. Menurut biodata dan browsing internet, sang Penulis memang dikenal sebagai sutradara film-film dokumenter. Sehingga sangat wajar, bila gaya penceritaan ala film cukup menonjol untuk memaparkan topik-topik pembahasan. Pada akhirnya, cara ini membuat bagian-bagian awal serasa sebuah otobiografi. Bahkan, bila tidak jeli memilahnya, kita akan terlena dengan gaya cerita yang laksana buku fiksi dan mengabaikan muatan teori dan praktik Ilmu Jurnalistiknya.
Setelah memasuki slug dua dan seterusnya, barulah peran “saya” mulai berkurang. Sebaliknya, kita diajak bermain-main secara serius di ranah jurnalisme televisi. Dan tidak bisa dipungkiri, bab ini merupakan awal bagi sang Penulis untuk menebarkan pengetahuan, pengalaman, dan inspirasi, dalam satu balutan kisah. Serta, denga cara bercerita yang seperti ngobrol.
“Obrolan” itu bukan sebatas obrolan. Karena, sejatinya memang bukan obrolan biasa. Slug demi slug atau bab demi bab adalah rangkaian teori dan praktik untuk memperkenalkan, mengarahkan, dan membimbing, para pembaca untuk memasuki alam jurnalisme cetak dan televisi. Seperempat bagian buku ini bertutur bekal-bekal menjadi wartawan atau jurnalis secara umum. Artinya, belum ada bidikan langsung ke arah satu media. Bagian ini sepertinya dipersiapkan bagi pembaca dari kalangan apa pun, untuk mengenal pengatahuan dasar jurnalisme. Apa pun medianya.
Bagian berikutnya, “obrolan” semakin menajam ke areal pertelevisian. Sang Penulis begitu rinci dan jelas memaparkan setiap teknik peliputan menurut bidang-bidang masalahnya. Serta, penajaman di masing-masing bidang. Tidak sampai di situ, ia juga akan memperlihatkan hakekat nyata jusnalis televisi yang sebenarnya dibandingkan jurnalis media lain. Persisnya, terkait pembahasan rekan-rekan kerja, lokasi kerja yang disebut “the jungle” dan stand-up alias tampil di layar kaca.
Saya makin yakin dengan “kelas” sang Penulis yang bukan sekadar wartawan ecek-ecek —tagline sang Penulis dalam judul dan sebagian isi buku— setelah membaca untaian pengalaman dan tips selama peliputan di lokasi bencana atau konflik. Artinya, ia memang memiliki pengalaman yang tidak sedikit untuk terlibat sebagai jurnalis televisi dan saksi sejarah berbagai peristiwa penting di Tanah Air. Misalnya, eksodus warga Timor Timur ke Nusa Tenggara Timur setelah pengumuman referendum pada September 1999. Atau juga, ketika Nanggroe Aceh Darussalam “dikurung” Status Darurat Militer dan azab tsunami. Maka, kita sangat beruntung bisa mendekati momen itu sambil menggali teknik peliputannya menurut bingkai jurnalisme televisi.
Kenikmatan membaca “obrolan” itu begitu nyata, ketika sang Penulis juga menyelipkan tokoh-tokoh atau “produk” popular layar kaca. Misal, soal sukses Tukul Arwana dengan acara Empat Mata atau Bukan Empat Mata. Atau, celetukan presenter sebuah program infotainment Cut Tari dengan istilah “beling-belingnya”. Atau, ia juga memasukkan nama Linbad sebagai salah satu karakter dalam program Master yang “mencari bintang tanpa mantra”.
Singkatnya, di antara uraian teori dan praktik jurnalisme televisi yang sesungguhnya menjadi bobot buku ini, sang Penulis seakan masih belum puas untuk melukiskan berbagai fenomena pertelevisian lain. Khususnya, terkait jurnalisme televisi dan industri televisi itu sendiri. Sebut saja, cerita Manohara yang mampu mengatasi kesakralan berita-berita pilpres dan siaran-siaran langsung penggerebegan para tersangka terosis oleh Tim Densus 88 Polri. Sayangnya, masalah-masalah yang sebenarnya sangat penting dan perlu dipahami juga secara benar oleh pembaca ini tidak dikupas sang Penulis secara mendalam. Padahal, di luar teori dan praktik jurnalisme televisi, masalah-masalah itu pun menyediakan ruang yang luas untuk memperkaya isi buku.
Lepas dari kendaraan “saya” yang memberikan kesan otobiografi dan kekurangtajaman memaparkan contoh-contoh kasus aktual di Tanah Air, menurut saya, Gado-Gado Sang Jurnalis: Rundown Wartawan Ecek-Ecek menghidangkan kekayaan pengetahuan dan pengalaman yang luar biasa. Aroma Dasar-Dasar Jurnalistik, Jurnalisme Televisi, Filsafat Komunikasi, Politik Komunikasi, Manajemen Media Massa, Sejarah Jurnalisme, bahkan prospek usaha penyiaran itu pada masa depan, begitu terasa. Meski kajian-kajian itu dipaparkan teramat sedikit, kita sepertinya harus maklum. Karena sang Penulis —yang katanya wartawan ecek-ecek— tampaknya lebih berkeinginan menawarkan pengetahuan jurnalisme televisinya dibandingkan kajian-kajian lain. Sehingga kita harus meyakini bahwa membaca buku ini memang diarahkan untuk memahami jurnalisme televisi ala wartawan ecek-ecek.
Catatan berharga lain yang jangan diabaikan dalam buku setebal hampir 300 halaman itu bahwa sang Wartawan Ecek-ecek bukan hanya memberikan inspirasi untuk mengenal, memahami, dan mencintai, dunia jurnalisme. Khususnya, jurnalisme televisi. Tapi, ia juga mengajak pembaca untuk mencintai Yang Maha Kuasa.[Bagoes Ilalang]