TIDAK salah, memang, mengisahkan diri sendiri kemudian dirangkum menjadi sebuah buku. Apalagi, dalam pengkisahan itu dibumbui pula dengan berbagai pengalaman menarik, menyangkut apa saja yang sudah dilakukan, sudah terjadi, dan tetek bengek persoalan dan beragam solusinya, terutama berkaitan dengan pekerjaan yang dilakukan sang penulis.
Demikian kurang lebih jika buku ini disimak. Sebab, mulai dari halaman pertama hingga terakhir, sarat berisi pengkisahan pengalaman diri menjalani profesi sebagai jurnalis televisi atau semacam catatan pribadi yang disusun sistematis. Meski, -ini perlu dicatat tersendiri- hampir pada tiap bab atau tiap bagian tulisan, selalu dibubuhi foto diri sang penulis dalam berbagai aksi di berbagai lokasi. Mulai halaman pertama, pembaca sudah disuguhi gambar sketsa diri sang penulis dan foto saat penulis berada di Cina (hal 3) lengkap dengan captionnya.
Tentu saja, yang perlu dicatat dalam buku semacam ini, adalah, pengkisahan itu bisa lebih cermat agar tidak terjerembab menjadi cerita narsistik yang cenderung memuji diri sendiri. Atau tidak pula, demi menutupi kesan narsis itu, dibelok-belokkan atau ditambah-tambahi dengan berbagai teori yang bisa melahirkan kesan bahwa penulis sedang menggurui para pembaca. Sejak awal, dalam pengantar buku ini, penulis memang sudah meniatkan membuat buku dengan pilihan gaya seperti itu. Pilihan penggunaan "saya" dalam penuturan dalam buku ini, disadari oleh penulis menjadi untaian cerita gado-gado. Mengapa harus menggunakan kendaraan "saya"? Karena, menurut sang penulis buku ini, dirinya membutuhkan human example yang paling murah dan dijangkau pikiran untuk memuluskan penceritaan. (hal vii).
Adapun bab per-bab dalam buku, dituturkan sebagaimana rundown sebuah program berita menjadi segmen per-segmen. Maka meluncurlah segmen pertama yang dibuka tentang perjalanan hidup yang berkaitan dengan profesi jurnalis televisi. Bagian kedua dan ketiga persiapan menekuni profesi jurnalis televisi dan aspek-aspek di dalam lingkungan televisi. Dalam bagian ketiga dikisahkan tentang apa dan bagaimana penggarapan berita televisi di newsroom. Sedangkan pada segmen terakhir, dipaparkan tentang sisi jurnalis televisi yang diistilahkan oleh penulis buku ini sebagai back to the jungle alias balik kanan ke kantor. Bagian ini mengupas teori ideal dan praktik pekerjaan sebagai produser dan perkembangan tren jurnalistik televisi terbaru.
Minat jadi profesi
Pada segmen pertama, penulis membawa kisahnya sendiri ke masa lalu yang disajikan kepada pembaca untuk dimengerti, dipahami. Antara lain, bagaimana serial The Andros Target di TVRI pada tahun 70-an begitu mempengaruhi dan berikan kesan mendalam pada diri penulis. Lewat sosok sang tokoh dalam serial itu, wartawan bernama Mike Andros, diam-diam penulis mencita-citakan dirinya bisa seperti seorang wartawan investigasi itu. Waktu pun berjalan. Kisah pun terus meluncur. Mulai dari kuliah di juru-san ilmu komunikasi, kemudian "nyambi" menjadi jurnalis media cetak dan akhirnya menekuni profesi sebagai jurnalis televisi. Itulah keniscayaan pada diri penulis buku ini. Pengalaman selama perjalanan menempuh kehidupan itulah, yang menjadi dasar atau inti cerita dalam buku ini. Bahwa di sana juga dicantumkan bagaimana filosofi dasar serta filsafat komunikasi, misalnya, atau ada pula diktum 5W+H, merupakan bumbu lain sebagai penyedap yang tentu saja porsinya terasa lebih sedikit dibanding pengkisahan pribadi si jurnalis.
Bagaimana pun, pengalaman tidak bisa dibeli. Artinya, pengalaman segetir apapun, sesederhana apapun, sedahsyat apapun, hanya bisa diketahui dan dirasakan secara detil oleh pelakunya. Bila pengalaman itu dibagi pada orang lain, sehingga orang lain mendengar atau membaca kisah pengalaman itu, kiranya takkan bisa dialami atau takkan bisa terjadi secara langsung pada orang lain tersebut. Artinya, ya, memang hanya sebatas sebagai inspirasi atau paling besar menumbuhkan motivasi.
Lepas dari semuanya, pengalaman sang jurnalis televisi yang dituturkan penulis dalam buku ini, tetap saja memiliki manfaat, terkhusus bagi pembaca yang akan memilih atau sudah dan sedang menekuni profesi sama dengan penulis atau siapa pun yang mungkin ingin menjadi jurnalis. Meliput bencana, meliput perang, meliput fenomena sosial, untuk menyebut beberapa contoh pengkisahan dalam buku ini, adalah contoh peristiwa yang dialami langsung oleh penulis dan kemudian dibagikan kepada pembaca.
Secara keseluruhan, buku ini menarik untuk disimak. Hanya saja, secara fisik terdapat beberapa hal yang dapat mengganggu, misalnya dalam desain setiap ganti bagian penuturan. Di halaman 3 dan 15 misalnya, terdapat desain yang cenderung ruwet karena memuat garis-garis horisontal dan pencantuman semacam "kata mutiara" di sana. Belum lagi ditambah foto penulis dalam berbagai aksi dan lokasi. Mungkin dimaui untuk lebih mendekatkan diri dengan pembaca (closer to the reader). Namun, jika ini terlalu banyak, berulang-ulang dari halaman ke halaman lain, kesannya berlebihan dan bisa membosankan. Foto ilustrasi peristiwa tentu lebih bermakna dibanding sekadar memuat gambar penulis buku dalam pose nyaris sama, memegang mikrofon atau kamera, mewawancarai narasumber atau berdiri dengan latar belakang landskap sebuah kota.
Selain itu, penggunaan bahasa dalam buku ini boleh dikatakan, belum seluruhnya memakai kaidah standar Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Banyak istilah bahasa tutur, bahasa lisan di sana. Pemakaian bahasa "aneh" untuk menggambarkan orang tertawa: wakakakakak dan masih terdapat di berbagai halaman) justru mengganggu. Bukankah pembaca dipaksa membaca sebuah buku dan bukan sedang berinteraksi di fasilitas jejaring sosial internet, semacam facebook? (awd)