Menyaksikan tayangan program Potret di layar SCTV menjadi inspirasi tentang kesahajaan, kesederhanaan, kearifan lokal, dan kekuatan-kekuatan “magis” masyarakat tradional, yang menjadi pilar peradaban khatulistiwa. Ketika program itu tidak lagi terlihat di layar kaca, sesungguhnya kita tengah dihadapkan persoalan kehilangan pemaknaan akan peradaban khatulistiwa tersebut. Setelah buku Memotret Khatulistiwa menghampiri kita, maka hal itu seakan menjadi kekuatan baru untuk melihat kembali semangat peradaban khatulistiwa itu.
Bagi saya, buku ini bukan sekadar referensi dan bahan kontemplasi untuk menapaktilasi perjalanan penulisnya atau melihat cara sebuah dokumenter televisi. Di balik itu semua, sebenarnya kita tengah diperlihatkan potret kebangsaan, nasionalisme, nilai-nilai luhur, budaya bangsa, dan penguatan-penguatan budaya lokal, yang belakangan ini makin terpinggirkan. Karena itu, saya menyambut baik kehadiran buku ini dan berharap akan berbicara dan menghadirkan pemaknaan yang luas bagi persoalan kebangsaan kita.
Bahwa produksi dokumenter televisi dijadikan bingkai seluruh penulisan, menurut saya, hal itu sekadar cara untuk bercerita, bertutur, dan mengabarkan poin-poin tentang persoalan kebangsaan. Kita berharap muncul juga kelanjutan cerita ini dan menjadi buku-buku berikutnya. Semoga buku ini bermanfaat dan makin memacu kecintaan kita terhadap Ibu Pertiwi.
Kasubdit Pengembangan Budaya Politik Lokal Ditjen Kesbangpol
Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia