nanggroe aceh darussalam, JULI-AGUSTUS 2003




Hari pertama di Banda Aceh, saya habiskan seluruh waktu untuk berdiskusi dengan kru yang bakal saya gantikan dan memahami proses pengiriman gambar dari sebuah studio mini milik PT Telkom. Diskusi memberikan peluang bagi saya untuk mempelajari lebih rinci apa-apa yang sebenaranya terjadi di tempat ini.

Asal tahu saja, pemahaman produser bidang atau produser program di Jakarta kerap tidak relevan dengan apa-apa yang terjadi di lapangan. Mereka berpikir dengan nalar gampangan soal embaded untuk mendapatkan berita. Pada praktiknya, embaded bersama tentara membutuhkan stamina yang luar biasa. Latihan kemiliteran di Sanggabuan tidak terlalu banyak menolong. Karena, kita dipaksa bersinergi dengan kekuatan para tentara yang memang terlatih. Bahkan untuk mengevakuasi sesosok mayat, kita harus berjalan cepat sekitar empat jam tanpa istirahat. Begitu juga ketika pulang. Bisa dibayangkan berapa banyak tenaga yang harus disiapkan untuk sebuah peliputan. Padahal selain meliput, saya pun harus bersiap-siap stand-up secara langsung dan kerap berkomunikasi dua arah dengan anchor atau presenter di Jakarta.

Dari segi eskalasi keamanan, jangan ditanya horornya. Karena, Banda Aceh berbeda dengan Atambua, Poso, apalagi Cirebon. Kelihatannya saja aman dan tenang. Padahal kata pepatah, air tenang bisa menghanyutkan. Salah-salah bersikap di tengah kota atau di lokasi yang didatangi pasti akan mendapat akibat. Jangan berpikir kota telah steril dari anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Sesungguhnya mereka bergentayangan dan memperhatikan gerak-gerik para pendatang. Terlebih lagi, wartawan. Salah-salah menulis berita atau melaporkan berita di layar kaca akan langsung dibalas dengan ketidaknyamanan. [syaiful HALIM, gado-gado SANG JURNALIS, 2009]