Di luar bayangan, debat capres putaran pertama yang ditunggu-tunggu
masyarakat luas ternyata berlangsung “anyep” alias kurang greget. Ketika
diminta menguraikan agenda penanganan tenaga kerja wanita (TKW) di luar
negeri, ketiga capres justru memainkan partitur dan lirik yang seragam.
Kok bisa?
Sepuluh tahun yang lalu, saya pernah mendapat kesempatan menyaksikan
kampung-kampung tenaga kerja Indonesia (TKI) sukses di suatu desa di
Ponorogo, Jawa Timur, bersama Dirjen Binapenta Depnaker waktu itu, Dien
Syamsuddin. Selain “dipaksa” merekam cuplikan sukses demi sukses TKI
(plus TKW), kami juga menyaksikan dialog pak Dirjen dengan para pemilik
Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI). Seperti biasa, dialog
lebih banyak mengumbar problem dari sisi PJTKI dan keinginan untuk
mendapat lebih atas usahanya. Sedangkan cerita tentang sisi TKI atau TKW
tidak muncul.
Padahal, saat itu potret TKW bermasalah di negara-negara Timur Tengah
sedang marak-maraknya. Dan kalau mau jujur, perlakuan atas TKW di Tanah
Air–sejak dari penampungan hingga kepulangan–-juga lebih banyak
buruknya. Entah dilakukan oleh oknum PJTKI sendiri maupun orang-orang
yang gemar merampas hak orang lain. Dan jangan juga berbicara soal
diskriminasi atau penistaan. Karena, hal itu memang “haknya” TKW.
Herannya, dialog seputar TKI (utamanya TKW) selalu saja mengedepankan
kehebatan mereka sebagai pahlawan devisa dan alasan kemiskinan yang
teramat sangat di negeri ini.
Cukup bosan juga mewawancarai dan menulis banyak seputar masalah TKW
yang sebenarnya. Karena, gaungnya tidak pernah sampai. Bahkan, cenderung
tidak menyentuh nurani para pelaku bisnis itu dan pemerintah. Padahal,
cerita miris TKW terus saja berguliran sepanjang hari. Kesannya,
menyalahkan pemerintah salah, menyalahkan PJTKI juga salah, dan
menyalahkan para majikan TKW juga salah. Yang paling enak, ya
menyalahkan sang TKW. Karena, bekerja di negeri orang dengan upah yang
di atas rata-rata memang butuh bekal dan risiko, kan?
Lima tahun kemudian, pergeseran TKI dan TKW bermasalah bergeser ke
Negeri Jiran. Saya juga sempat mengunjungi negeri yang serumpun dengan
negeri tercinta ini, tanpa didampingi pak Dirjen Binapenta Depnaker atau
pejabat pemerintah lain. Karena itu, saya jadi benar-benar leluasa
untuk merekam berbagai perlakuan warga di negara itu terhadap para
“pendatang haram” dan kekisruhan yang muncul. Ruang kecil di lingkungan
KBRI di Kuala Lumpur menyimpan banyak cerita tentang TKW bermasalah.
Pada saat bersamaan, saya juga menyaksikan polemik dan wacana
penanganan masalah itu yang tidak pernah membuahkan hasil. TKW
bermasalah muncul, mendapat liputan media massa, masyarakat bereaksi,
pemerintah bereaksi, lalu masalah pun selesai dengan damai. Hari atau
pekan berikutnya, cerita baru bermunculan dan bergulir dalam rotasi yang
baku. TKW tetap menjadi segelintir debu yang harus kalah.
Kini, ketika para calon pemimpin negeri ini bertarung untuk
memperebutkan simpati masyarakat, “debu-debu” itu berhamburan dengan
derasnya. Sumasri, TKW asal Blitar, nyaris tewas akibat disiksa
majikannya di Malaysia. Onis dan Nurul Widayanti kembali ke negeri ini
menjadi mayat, dan menurut kabar, karena bunuh diri saat bekerja di
Negeri Jiran. Selain ketiganya, kita bisa sama-sama saksikan TKW-TKW
korban kekerasan dengan dramanya masing-masing di berbagai media massa.
Sementara proposal yang diajukan para capres dalam debat capres
putaran pertama, menurut saya, tidak berbeda dengan jawaban pemerintah
yang diberikan sejak lima atau sepuluh tahun yang silam. Utamanya, masih
soal penataan berbagai hal di dalam negeri dan perlindungan maksimal
saat mereka di luar negeri. Dulu, pak Dien Syamsuddin juga bilang
begitu. Lima tahun kemudian, keterangan juga yang muncul dari pejabat
Depnaker setiap ditanya solusi penangan TKW.
“Kok, yang lain cuma ngikut saya,” seloroh Megawati
Soekarnoputri saat debat capres. Kedua capres lain, SBY dan JK,
senyum-senyum. Sedangkan penonton terpingkal-pingkal. Para TKW?
Keseragaman pendapat boleh-boleh saja. Kesamaan visi juga sah-sah
saja. Karena, bisa jadi karena para capres memiliki kesamaan referensi
dan pengetahuan. Dan bisa jadi juga, karena mereka memiliki niatan yang
sama soal TKW; memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi kaum perempuan
untuk mencari nafkah di mana pun dan dengan menjadi apa saja.
Dalam bayangan saya, keinginan itu seakan melupakan kenyataan bahwa
para TKW adalah pembantu rumah tangga. Jangankan di negeri orang, di
negeri tercinta ini saja, pembantu masih menempati kasta terendah dalam
lapisan masyarakat. Mereka kaum sudra atau batur yang harus siap
menjalankan perintah apa saja, dihina apa saja, dicaci-maki apa saja,
dan dibayar serendah-rendahnya. Bahkan, cerita miris para pembantu rumah
tangga dengan perlakuan buruk dari majikannya pun sangat sering tampil
ke permukaan.
Sulit dibayangkan, ketika para pembantu dengan label TKW berkiprah di
negeri dengan warisan perbudakan dan penghinaan yang luar biasa
terhadap kaum perempuan. Boleh saja kita berasumsi, zaman telah bergeser
dan membuat pandangan tentang masa jahililah berubah. Faktanya,
kasus-kasus TKW bermasalah terus berdatangan, kan?
Bahkan di negara yang memiliki kemiripan budaya dan padangan hidup
dengan negara kita, para TKW juga banyak yang mendapat perlakuan buruk.
Di tempat itu, mereka dipanggil “indon”–seperti panggilan “negro” untuk
warga berkulit hitam–dengan tujuan membangun diskriminasi antara warga
lokal dan pendatang dari Indonesia. Masalah perizinan juga kerap sekedar
akal-akalan, agar posisi para TKI atau TKW lemah dan tidak mampu
memberikan perlawanan.
Menurut saya, janji peningkatan kualitas penataan di dalam negeri dan
perlindungan maksimal di luar negeri bagi para TKI atau TKW, sungguh
terlalu abstrak. Bagian dalam negeri mana yang sesungguhnya akan
diperbaiki; agen-agen PJTKI-nyakah, atau PJTKI-nyakah, atau Ditjen
Binapenta dan Depnaker-nyakah? Bukankah aturan-aturan indah menyangkut
lembaga-lembaga itu dan TKW telah dirancang dan diimplemantasikan
sepanjang tahun-tahun kemarin? Dan hasilnya, bukankah para TKW
bermasalah masih saja menghampiri kita?
Selain itu, perlindungan maksimal macam apa yang akan diberikan
kepada para TKW saat berada di negeri orang? Bagaimanakah rincian peran
lembaga-lembaga pemerintah yang harus segera “turun tangan” ketika TKW
mendapat musibah? Waktu yang 60 detik atau 120 detik memang terlalu
sedikit untuk menjabarkan masalah ini. Namun, di luar yang 60 detik atau
120 detik, para capres masih memiliki kesempatan untuk memilih media
dan “menyanyikan” proposal penanganan TKW. Yang dibutuhkan, niat dan
kesungguhan untuk menuntaskan masalah ini.
Dan kalau boleh usul, tolong dipertimbangkan juga poin penghormatan
warga negara lain terhadap bangsa dan negara ini. Apakah hati kita
merasa nyaman tatkala para pahlawan devisa itu mesti dipanggil “indon”
atau sebutan melecehkan lain? Kita boleh maklum dengan alasan kemiskinan
dan pengangguran yang belum terpecahkan. Tapi, mestikah hal itu harus
dijawab dengan kebijakan yang cenderung menghadirkan penghinaan terhadap
martabat bangsa dan negara?
Bagi saya, proposal TKW dari para capres masih merupakan nyanyian yang tidak merdu. Bahkan, mereka pun sering kehilangan pitch-control. Penonton bertepuk tangan, karena pastinya menyaksikan kelucuan dan ironi klasik di negeri ini.[]