bicaralah, DENGAN KATA-KATA

Aku sangat yakin engkau bisa berkata-kata
Aku juga paham engkau bisa sampaikan maksud
Bicaralah dengan mulut dan pikiran
Agar engkau merasa lega dan terpuaskan
Atau barangkali bisa penuhi segala hasrat

Aku akan mengerti bila engkau deretkan kalimat
Aku juga bisa tersadar bila engkau bertutur tujuan
Bicaralah dengan mulut dan hati
Agar engkau merasa senang dan kegirangan
Atau mungkin bisa perlihatkan keinginan

Mohon
: bukan dengan gelegar halilintar dan kepulan asap hitam

Tangerang, 17-07-2009


Saya ingin menulis panjang monolog yang berkumandang di Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton, 16 Juli 2009 lalu. Tapi, keterbatasan memahami semiotik berbahasa menjegal niat itu. Karena, saya memang tidak mengerti apalagi mampu memaknai pesan itu. Sehingga, hanya kalimat-kalimat pendek tak bermakna juga yang muncul. Persoalan berbahasa?

Salah satu karya Yang Maha Pencipta yang tidak pernah tuntas saya kagumi adalah bahasa. Betapa jutaan manusia menghampar di atas Bumi dengan keunikan bertutur, berkata-kata, berucap, dan bercerita. Bila kita persempit dalam wilayah kabupaten saja, kita telah menjumpai sejumlah bahasa pribumi yang menjadi pengantar komunikasi penduduk di tempat itu. Lantas dari satu bahasa, kita juga akan mendapati perbedaan-perbedaan kecil menyangkut dialek, logat, atau aksen.

Dan bila kita mau teliti dan mengembangkan terus kekaguman kita akan kekayaan bahasa, kita akan segera tahu bahwa Yang Maha Kuasa juga menganugerahkan hambaNya dengan kreativitas nan tak terbatas. Sehingga, mereka mampu mengembangkan bahasa dalam bentuk-bentuk yang lebih universal. Dan tidak sebatas kalimat dan kata-kata yang disampaikan secara lisan. Persoalannya, apakah "bahasa" itu mampu menjadi pengantar untuk mengungkapkan isi hati?

Sayangnya, tidak semua orang, termasuk saya, memiliki kemampuan untuk mencerna apalagi memahami isi hati sebagaimana yang dimaksud. Meski, pesan itu dihadirkan dengan gema yang begitu kuat. Termasuk, drama menegangkan Temanggung yang di tengah gulita malam hingga pagi menerang, 7 dan 8 Agustus 2009. Dan, dengan kepul asap putih dan letusan yang terus menerus.

Lagi-lagi, saya tidak mampu mamahami bahasa yang digunakan. Apalagi memahami hakekat makna di dalamnya. Kenapa tidak berbicara dengan kalimat dan kata-kata?


Tangerang, 9 Agustus 2009


Tulisan di atas dibuat dalam dua kondisi. Pertama, pada 17 Juli 2009, sehari setelah peristiwa peledakan bom bunuh diri di Hotel JW Marriot dan Hotel Ritz Carlton. Sembilan orang tewas, termasuk warga negara asing, dan puluhan lainnya terluka. Dan seperti biasa seketika semut-semut media massa berdatangan dan mengais fakta demi fakta secerdas mungkin. Bahkan, mereka juga memboyong perlengkapan siaran langsung. Sehingga, di luar keceriaan otak terorisme atas sukses pesta “perkawinan” itu dan kekesalan polisi atas “kelengahan” menjaga kesakralan hajatan pemilihan presiden, para pengelola lembaga pers di lingkungan televisi bertarung secara terbuka. Head to head.

Intinya, apalagi kalau bukan berusaha untuk melaporkan peristiwa selekas-lekasnya. Entah berupa gambar-gambar rekaman telepon seluler dari saksi mata di lokasi kejadian, gambar-gambar ekslusif yang “dibeli” dari pihak tertentu, rekaman CCTV hotel yang tengah dijadikan bahan penyelidikan, atau kerja keras para kamerawan di masing-masing stasiun televisi, yang ditayangkan secara utuh atau tanpa editing. Sebaiknya saya tidak membahas bagaimana gambar-gambar yang harusnya menjadi bahan penyelidikan kasus terorisme bisa langsung ditayangkan secepat itu. Khawatir jadi fitnah. Atau, berupa gambar-gambar yang telah dilengkapi narasi atau voice over reporter di lapangan. Atau juga, berupa gambar-gambar yang disertai analisis plus teori-teori “duga-duga” sang reporter yang membingungkan.

Sedangkan bagian kedua yang tidak lagi berpuisi-puisi, dibuat selang tiga minggu setelah peristiwa pertama. Persisnya, ketika para penggelola lembaga pers di lingkungan televisi mendapat rejeki “macan”, berupa aksi penggerebegan Tim Detasemen Khusus 88 (tim antiteror-nya Mabes Polri) di rumah milik Muhdjahri di Desa Beji, Kedu, Temanggung, Jawa Tengah. Bahkan, dua stasiun televisi yang bersegmen pemberitaan menayangkan momen itu secara langsung. Live, saudara-saudara. Benar-benar, live! Dengan durasi yang berjam-jam atau terhitung dua hari.

Jangan bertanya pula, kenapa kedua stasiun itu mendapatkan hak istimewa sebagai “official broadcaster” untuk peristiwa sedasyat itu. Karena, jujur saja, saya memang tidak tahu. Bahkan, nalar otak kiri-kanan ini pun tidak sanggup menebak-nebaknya. Karena, ketakjuban akan durasi yang menayangkan adegan dor-doran secara terbuka dan lama itu benar-benar menutupi segalanya. Kok, bisa adegan violence yang demikian vulgar dan sadis ditayangkan secara live?

Sedangkan catatan kecil atas peristiwa kedua tersebut, lagi-lagi, soal pertarungan terbuka antarstasiun televisi terjadi di layar kaca. Masih dalam posisi head to head. Meski hanya diikuti beberapa stasiun televisi. Namanya saja pertarungan, tentu selalu ada tim yang berusaha tampil cemerlang dan gemilang. Baik menyangkut starting point penayangan maupun fakta yang dilaporkan. Sehingga, bisa-bisanya juga ada stasiun televisi yang maksa banget langsung berkesimpulan bahwa teroris yang diberondong peluru Tim Densus 88 adalah Noordin M. Top. Padahal, adegan penggerebegan masih berlangsung. Bahkan, jarak antara lokasi stand-up para reporter dan TKP sekitar 500 meter. Dan dalam suasana malam. Kok, ada yang berani melaporkan “fakta” tersebut? Bahkan hingga hari-hari selanjutnya? Dan baru mencoba meralatnya ketika polisi memastikan teroris tersebut adalah Ibrohim yang tidak memakai M. Top!

Sekedar membuktikan kehebatan? Boleh jadi. Namanya juga dalam suasana persaingan. Jadi boleh menghalalkan segala cara dan melupakan teori-teori dasar jurnalistik televisi. Bahkan, dasar-dasar jurnalistik! Agar tidak penasaran soal kenapa ada stasiun televisi yang memperoleh gambar CCTV yang mestinya masih jadi rahasia polisi dan mendapat kesempatan untuk mempersiapkan peliputan secara langsung di lokasi yang mestinya rahasia polisi juga, saya harus katakan secara positif bahwa hal itu terkait dengan kontak. Ingat-ingat kembali cerita soal membangun kontak, jaringan, link, atau kekerabatan dengan narasumber, yang harus dirintis sejak memasuki dunia jurnalistik. Bahkan, hal itu juga harus terus dilakukan setiap berpindah desk atau bidang masalah. So, sukses mendapatkan “keistimewaan” itu tidak lepas dari kepintaran orang-orang di lembaga pers tersebut untuk menjaga kedekatan dengan kontaknya. [syaiful HALIM, gado-gado SANG JURNALIS, 2009]